A.
Pelaksanaan program 4p ( Pedoman Penghayatan dan
Pengamalan Pancasila ) pada masa Presiden Soeharto
Pedoman
Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (disingkat P4) atau Eka Prasetya Pancakarsa
adalah sebuah panduan tentang pengamalan Pancasila dalam kehidupan bernegara
semasa Orde Baru (pada masa pemerintahan Presiden Soeharto). Program P4 ini diterapkan
sesuai dengan Ketetapan MPR no. II/MPR/1978. Pada program ini, setiap sila
dalam Pancasila dijabarkan dalam Butir-Butir P4. Pada masa Orde Baru, berbagai
kalangan seperti setiap guru, pegawai negeri dan siswa harus mengikuti
Penataran P4. Oleh pemeritahan Orde Baru Penataran P4 membuat masyarakat
menyadari, mengetahui dan menghayati ideologi Negara.
Saat
ini, program P4 dan Penataran P4 sudah tidak ada lagi, karena dibatalkan
melalui penerbitan Tap MPR RI No.XVIII/MPR/1998. Pembatalan P4 ini karena
“Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor II/MPR/1978
tentang Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (Ekaprasetia Pancakarsa)
yang materi muatan dan pelaksanaannya tidak sesuai dengan perkembangan
kehidupan bernegara, perlu dicabut.”
Pencabutan
terhadap Program P4 ini dilandasi situasi pada masa awal Reformasi setelah
jatuhnya pemerintahan Orde Baru presiden Suharto. Pada masa ini P4 dianggap
sebagai alat Orde Baru untuk mempertahankan kekuasaan.
Pada
masa Orde Baru, Pancasila ditafsirkan penuh muatan politik untuk melanggengkan
kekuasaan. Selain itu, penanaman nilai-nilai Pancasila juga dilakukan secara
represif di semua jenjang pendidikan. Misalnya, pihak yang kritis terhadap
pemerintahan Orde Baru dicap sebagai penentang Pancasila.
Presiden Soeharto mengajak seluruh masyarakat, baik para pemuda,
mahasiswa dan cendekiawan agar kembali kepada prinsip-prinsip perjuangan Orde
Baru dalam melaksanakan pembangunan. Yaitu, bertekad untuk melaksanakan
kemurnian Pancasila dan Undang-Undang Dasar, pandai melihat, sebab kalau
membiarkan mereka (yang mengembangkan demokrasi di luar Demokrasi
Pancasila-Red) ini akan menjadi lawan daripada Pancasila itu sendiri, sama
halnya itu dengan Partai Komunis Indonesia (PKI) dulu,” ujamya.
“Pancasila sebagai dasar
negara,ideologi danpandangan hidup dalam bemegara, berbangsa dan bermasyarakat
harus selalu dipegang teguh. Jangan kemudian mempunyai tafsiran dan konotasi
lain,”kata Kepala Negara kepada wartawan di atas pesawat DC-I 0 Garuda
Indonesia dalam petjalanan kembali dari New Delhi, India ke Jakarta, Jumat (17/
12) sore.
Presiden mensinyalir
sekarang iniada yang selalu harus akan keterbukaan dan kebebasan, serta menilai
seolah-olah pemerintah berada diluar sistem ketatanegaraan.
B.
Pelaksanaan program 4p ( Pedoman Penghayatan dan
Pengamalan Pancasila ) pada masa Presiden Soeharto
Pancasila adalah sebuah hasil yang
tercipta dari kesepakatan bersama yang kemudian disebut sebagai perjanjian
luhur bangsa Indonesia. Pancasila terkandung semangat kekeluargaan sebagai inti
ajaran Pancasila. Pancasila secara resmi dirumuskan dalam Pembukaan UUD 1945,
walaupun istilah “Pancasila” tidak di sebutkan secara terang-terangan dalam
Pembukaan tersebut, namun sila demi sila secara jelas dicantumkan di dalamnya.
Pembukaan UUD 1945 menjadi tempat adanya rumusan Pancasila.
Masyarakat Indonesia sulit
mengamalkan nilai-nilai kebersamaan, solidaritas, dan toleransi antar ke sesama
masyarakat, sehingga setiap masyarakat harus bisa dituntut secara hati nurani
untuk memahami apa itu Pancasila, bagaimana memahaminya dan bagaimana cara
menerapkannya.
Keaadaan baik buruknya moral bangsa
Indonesia bisa kita lihat dengan perilaku rakyat atau bangsa Indonesia itu
sendiri. Demi keadaan untuk terciptanya kehidupan yang sesuai watak warga
negara Indonesia, masyarakat harus memahami prinsip dasar Pancasila sebagai
jati diri bangsa Indonesia dan harus menambah wawasan yang seluas mungkin
tentang pemahaman Pancasila. Ketidak berhasilan bisa mempengaruhi beberapa
faktor. Faktor-faktornya sebagai berikut :
1. Faktor kurangnya pendidikan akan
pancasila
2. Faktor ketidak pedulian pemerintah
3. Faktor pemberian contoh yang tidak
baik dari pemerintah
Cara mengubah setiap insan menjadi
seseorang yang berpemikiran dengan landasan pancasila adalah dengan landasan
Pancasila adalah dengan pemimpin harus memberikan contoh dan tauladan yang baik
bagi rakyatnya. Karena pemimpin yang baik sepenuhnya akan memberikan efek-efek
yang positif pula pada masyarakatnya dan memotivasi masyarakat untuk berpikir
dengan landasan Pancasila.
Jika nilai Pancasila tidak lagi
dijalankan setiap masyarakat dan sulit diterapkan. Bisa dikatakan negara
Indonesia ini adalah negara yang akan hancur perlahan-lahan. Karena ketidak
pahaman masyarakat dan diterapkannya lagi Pancasila sudah membuat bangsa kita
kehilangan landasan kenegaraanya. Setiap individu harus dituntut untuk memahami
tentang Pancasila, demi tercapainya penerapan Pancasila pada masa kini
C.
Dwi Fungsi ABRI
Dwi
fungsi ABRI adalah suatu dokrin di lingkungan Militer Indonesia yang
menyebutkan bahwa TNI memiliki dua tugas, yaitu pertama menjaga keamanan dan
ketertiban negara dan kedua memegang kekuasaan dan mengatur negara. Dengan
peran ganda ini, militer diizinkan untuk memegang posisi di dalam pemerintahan.
Pernyataan di atas berdasarkan beberapa pidato Soeharto. Soeharto mengatakan
bahwa sejalan dengan pelaksanaan tugasnya sebagai alat pertahanan dan
keamanan, maka ABRI harus dapat dengan tepat melaksanakan peranannya sebagai
kekuatan sosial, politik.
Sedangkan
dalam bentuknya ABRI sebagai kekuatan sosial, memiliki dua buah fungsi. Yaitu
fungsi stabilisator dan fungsi dinamisator. ABRI sebagai pelaksana tugas
keamanan Negara juga kemanunggalannya dengan rakyat yang lebih di kenal dengan
ABRI masuk desa maka dapat di kategorikan ABRI sebagai dinamisator sedangkan
sebagai stabilisator dalam kehidupan bangsa dan negara. Sejarah mencatat bahwa
ABRI telah membuktikan kedua fungsinya dalam tindakan-tindakan berikut ini:
a.
ABRI sebagai dinamisator :
1.Kemampuan
ABRI untuk berkomunikasi dengan rakyat, untuk merasakan dinamika masyarakat ,
dan untuk memahami serta mersasakan aspirasi serta kebutuhan-kebutuhan rakyat,
memungkinkan ABRI untuk secara nyata membimbing, menggugah dan mendorong
masyarakat untuk lebih giat melakukan partisipasi dalam pembangunan. Dalam
halini dapat di contohkan dalam amnunggal desa yang lebh di kenal dengan ABRI
masuk desa, abri masuk desa ini membantu segala hal yang yang berkaitan dengan
pembanguna desa dalam rangk mengabdi kepada masyarakat.
2.Kemampuan
tersebut dapat mengarah kepada dua jurusan. Di satu pihak hal tersebut
merupakan potensi nyata ABRI untuk membantu masyarakat menegakkan asas-asas
serta tata cara kehidupan bermasyarakat dan bernegara, termasuk juga
rencana-rencana serta proyek-proyek pembangunan. Di lain pihak hal itu
menyebabkan ABRI dapat berfungsi sebagai penyalur aspirasi-aspirasi dan
pendapat-pendapat rakyat.
3.Untuk
dapat lebih meningkatkan kesadaran nasional dan untuk dapat mensukseskan dan
untuk dapat mensukseskan pembangunan, diperlukan suatu disiplin social dan
disiplin nasional yang mantap. Oleh karena disiplin ABRI bersumber pada
Saptamarga dan Sumpah Prajurit, sehingga secara masyarakat, maka ABRI dapat
berbuat banyak dalam rangka pembinaan serta peningkatan disiplin nasional
tersebut.
4.Sifat
ABRI yang modern serta penguasaan ilmu dan teknologi serta perlatan yang maju,
memberikan kemampuan kepada ABRI untuk juga mempelopori usaha-usaha
modernisasi.
b.
ABRI sebagai stabilisator :
1.Kemampuan
ABRI untuk berkomunikasi dengan rakyat, untuk merasakan dinamika masyarakat dan
untuk memahami aspirasi-aspirasi yang hidup dalam masyarakat, membuat ABRI
menjadi salah satu jalur penting dalam rangka pengawasan sosial.
2.Kesadaran
nasional yang tinggi yang dimiliki oleh setiap prajurit ABRI merupakan suatu
penangkal yang efektif terhadap pengaruh social yang bersifat negatif dari
budaya serta nilai-nilai asing yang kini membanjiri masyarakat Indonesia.
3.Sifat
ABRI yang realistis dan pragmatis dapat mendorong masyarakat agar dalam
menanggulangi masalah-masalah berlandaskan tata pilir yang nyata dan berpijak
pada kenyataan situasi serta kondisi yang dihadapi, dengan mengutamakan nilai
kemanfaatan bagi kepentingan nasional. Kemudian rakyat akan dapat secara tepat
waktu menentukan prioritas-prioritas permasalahan dan sasaran-sasaran yang
diutamakan.
4.Dengan
demikian akan dapat dinetralisasi atau dikurangi ketegangan, gejolak-gejolak
dan keresahan-keresahan yang pasti akan melanda masyarakat yang sedang
giat-giatnya melaksanakan pembangunan dan karenanya mengalami perubahan social
yang sangat cepat.
Pengaturan Dwifungsi ABRI dalam
undang-undang sendiri baru dimulai pada era Orde Baru, undang-undang yang mengatur
Dwifungsi ABRI ialah Ketetapan MPRS Nomor XXIV/MPRS/1966, yang kemudian disusul
oleh UU No. 15 Tahun 1969 tentang Pemilihan Umum dan UU No. 16 Tahun 1969,
Ketetapan MPR No. IV/MPR/1978, Undang-undang Nomor 20 Tahun 1982 tentang
Ketentuan-ketentuan Pokok Pertahaan Keamanan Negara, dan UU no. 2 Tahun 1988
tentang Prajurit ABRI.
Adapun penjelasan lebih lanjut
tentang beberapa pasal tersebut adalah sebagai berikut :
UU No. 16 Tahun 1969 tentang Susunan
dan Kedudukan MPR, DPR, dan DPRD yang antara lain mengatakan :
“Mengingat Dwifungsi ABRI sebagai
alat negara dan kekuatan social harus kompak bersatu dan merupakan kesatuan
untuk dapat menjadi pengawal Pancasila dan UUG 1945 yang kuat dan sentosa.”
Ketetapan MPR No. IV/MPR/1978
tentang Garis-garis Besar Haluan Negara mengukuhkan Dwifungsi ABRI sebagai
salah satu modal dasar pembangunan nasional dengan kalimat :
“Angkatan Bersenjata Republik
Indonesia sebagai kekuatan pertahanan keamanan dan kekuatan sosial yang tumbuh
dari rakyat bersama rakyat menegakkan kemerdekaan bangsa dan negara.”
UU No. 20 tahun 1982 tentang
Ketentuan-ketentuan Pokok Pertahanan Keamanan Negara, pasal 16 berbunyi :
“Angkatan bersenjata mempunyai
fungsi sebagai kekuatan pertahanan kemanan negara dan sebagai kekuatan social.”
Dalam
Penjelasan Pasal ini dirumuskan :
“Fungsi Angkatan bersenjata sebagai
kekuatan social sudah ada sejak kelahirannya serta merupakan bagian dari hasil
proses perjuangan dan pertumbuhan bangsa Indonesia yang telah dirumuskan dalam
marga kesatu sampai marga ketiga Saptamarga dan dinyatakan sebagai salah satu
modal dasar pembangunan nasional dalam Garis-garis Besar Haluan Negara.
(Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor IV/MPR/1978).
Selanjutnya
dalam pasal 28 dikatakan :
“(1) Angkatan bersenjata sebagai
kekuatan social bertindak selaku dinamisator dan stabilisator yang bersama-sama
kekuatan social lainnya memikul tugas dan tanggung jawab mengamankan dan
mensukseskan perjuangan bangsa dalam mengisi kemerdekaan serta meningkatkan
kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia.
(2) Dalam melaksanakan fungsi
sebagaimana dimaksud ayat (1) pasal ini angkatan bersenjata diarahkan agar
secara aktif mampu meningkatkan dan memperkukuh ketahanan nasional dengan ikut
serta dalam pengambilan keputusan mengenai maslaah kenegaraan dan pemerintahan,
mengembangkan demokrasi Pancasila dan kehidupan konstitusional berdasarkan
Undang-Undang Dasar 1945 dalam sefala usaha dan kegiatan pembangunan nasional.”
Penjelasan
Pasal ini berbunyi :
“Sepanjang sejarah perjuangan bangsa
Indonesia terbukti angkatan bersenjata merupakan pengawal dan pengamal
Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 yang setia, sehingga dalam peranannya
sebagai kekuatan social, angkatan bersenjata mendayagunakan kempuannya selaku
dinamisator dan stabilisator dalam menunaikan tugas dan tanggung jawab
mengamankan dan mensukseskan perjuangan dalam mewujudkan tujuan nasional.
Dalam rangka pelaksanaan fungsi
sebagaimana dimaksud di atas, angkatan bersenjata diarahkan agar mampu secara
aktif dan positif ikut serta memupuk serta memantapkan perseatuan dan kesatuan
bangsa dan mampu berpersan dalam pembangunan nasional ke arah terwujudnya
ketahanan nasional yang tangguh.”
Terakhir, UU no. 2 Tahun 1988
tentang Prajurit ABRI menegaskan dalam Pasal 6-nya :
“Prajurit Angkatan Bersenjata
Republik Indonesia mengemban Dwifungsi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia,
yaitu sebagai kekuatan pertahanan keamanan negara dan kekuatan social politik.”
Secara umum dapat kita jelaskan
bahwa kedudukan militer pada masa orde baru ini sangatlah banyak dalam bidang
pemerintahan, tidak hanya dari tingkat tertinggi namun juga sampai ke tingkat
yang paling rendah pun masih dipimpin oleh orang-orang yang berasaldari ABRI.
Hal ini terjadi karena adanya kepercayaan dari setiap kalangan bahwa ABRI
mampu melaksanakan tugas kenegaraan dan juga sudah pasti mampu melaksanakan
tugas mengabdi kepada masyarakat.
Keikutsertaan militer dalam bidang
politik secara umum bersifat antipartai. Militer percaya bahwa mereka merupakan
pihak yang setia kepada modernisasi dan pembangunan. Sedangkan partai politik
dipandang memiliki kepentingan-kepentingan golongan tersendiri.
Hubungan
antara ABRI dan kemunculan beberapa partai politik sepanjang era Orde
Baru:
1) Munculnya partai
golkar kelahiran Golkar tidak lepas dari peran dan dukungan militer, yang pada
saat itu merupakan bentuk reaksi terhadap meningkatnya kampanye PKI. Embrio
Golkar awalnya muncul dengan pembentukan Sekretariat Bersama Golongan Karya
(Sekber Golkar)
2) Munculnya
Partai Persatuan Pembangunan lahirlah PPP pada tanggal 5 Januari 1973 yang
ditandatangani oleh NU, Parmusi, PSII, dan Perti. Ketersediaan partai-partai
tersebut tidak lepas dari tekanan pemerintah dan militer.
3) Munculnya
Partai Demokrasi Indonesia (PDI) PDI juga merupakan partai yang terbentuk pada
praktik fusi oleh pemerintah. PDI terfusi atas partai-partai yang cenderung
bersifat nasionalis seperti PNI, Murba, IPKI, serta Parkindo dan Partai Katolik
(yang menolak dikategorikan dalam kategori material-spiritual). Ketiga partai
yang terbentuk ini kemudian mengindikasikan keberhasilan penyederhanaan partai
pada Orde Baru (dengan bantuan ABRI atau militer), karena sejak saat itu hingga
tahun 1998/1999 hanya PPP, PDI dan Golkar yang mengikuti pemilihan umum.
Dampak
positif ( kelebihan ) Dwi Fungsi ABRI:
1. Kesejahteraan
prajurit ABRI meningkat
Pada masa Orde Baru,
ABRI mngendalikan berbagai yayasan dan perusahaan. Penghasilan dari yayasan dan
perusahaan ini disalurkan untuk memperbaiki kondisi kesejahteraan prajurit
ABRI. Pada masa Orde Baru, gaji pegawai pemerintah, termasuk gaji anggota ABRI
sangat rendah, sehingga mereka harus mencari pendapatan tambahan.
2. Para prajurit ABRI
ikut berkontribusi dalam pembangunan
Para prajurit
dimobilisasi dalam kegiatan seperti ABRI Masuk Desa, untuk melakukan kegiatan
pembangunan seperti perbaikan jalan hingga mendirikan sarana kesehatan.
Dampak
negative (kelemahan ) Dwi Fungsi ABRI:
1. Terjadi
dominasi oleh ABRIvterhadap masyarakat sipil
Pada masa Orde Baru, akibat dominasi
ABRI, sangat banyak jabatan penting di Indonesia, seperti walikota, bupati dan
gubernur iisi oleh para prajurit maupun purnawirawan ABRI. Akibatnya, peluang
dan aspirasi politis masyarakat sipil menjadi terhambat.
2. ABRI
menjadi alat politik praktis
Dengan Dwi Fungsi ABRI, di MPR dan DPR
terdapat anggota dewan dan majlis yang ditunjuk oleh ABRI. Bersama dengan para
kepala daerah yang berasal dari ABRI, mereka dianggap sebagai kepanjangan
tangan dari Presiden Soeharto. Akibatnya, setelah pemerintahan Soeharto
tumbang, keberadaan Fraksi ABRI dan anggota MPR/DPR dari ABRI dihapuskan.
3. Banyaknya jabatan pemerintahan mulai
dari Bupati, Walikota, Gubernur, Pejabat Eselon, Menteri, bahkan Duta Besar
diisi oleh anggota ABRI yang “dikaryakan”, Selain dilakukannya pembentukan
Fraksi ABRI di parlemen, ABRI bersama-sama Korpri pada waktu itu juga dijadikan
sebagai salah satu tulang punggung yang menyangga keberadaan Golkar sebagai
“partai politik” yang berkuasa pada waktu itu,
4. ABRI melalui berbagai yayasan yang
dibentuk diperkenankan mempunyai dan menjalankan berbagai bidang usaha dan lain
sebagainya.
5. Kecenderungan ABRI untuk bertidak
represif dan tidak demokratis/otoriter. Hal ini dapat terjadi karena kebiasaan
masyarakat yang terbiasa taat dan patuh kepada ABRI. Sehingga masyarakat enggan
untuk mencari inisiatif dan alternatif karena semua inisiatif dan alternatif
harus melalui persetujuan ABRI. Kalaupun masyarakat telah mengungkapkan
inisiatifnya, tak jarang inisiatif tersebut ditolak oleh ABRI yang menjabat
sebagai petinggi di wilayahnya tersebut,
6. Menjadi alat penguasa, yakni dengan
adanya dwifungsi ABRI ini, maka ABRI dengan bebas bergerak untuk menjabat di
pemerintahan. Sehingga untuk mencapai tingkat penguasa tidak mustahil untuk
dilakukan oleh seorang ABRI, sehingga dengan mudah ABRI mengatur masyarakat,
dan
7. Tidak berjalannya fungsi kontrol
oleh parlemen. Dampak dari kondisi ini adalah terjadinya penyalahgunaan
kekuasaan, misalnya dalam bentuk korupsi. Hal tersebut dapat terjadi karena
ABRI juga yang bertindak sebagai parlemen sehigga ia tidak ingin repot-repot
melakukan kontrol terhadap bawahannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar