Senin, 05 November 2018

Program 4p ( Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila )


A.  Pelaksanaan program 4p ( Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila ) pada masa Presiden Soeharto
Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (disingkat P4) atau Eka Prasetya Pancakarsa  adalah sebuah panduan tentang pengamalan Pancasila dalam kehidupan bernegara semasa Orde Baru (pada masa pemerintahan Presiden Soeharto). Program P4 ini diterapkan sesuai dengan Ketetapan MPR no. II/MPR/1978. Pada program ini, setiap sila dalam Pancasila dijabarkan dalam Butir-Butir P4. Pada masa Orde Baru, berbagai kalangan seperti setiap guru, pegawai negeri dan siswa harus mengikuti Penataran P4. Oleh pemeritahan Orde Baru Penataran P4 membuat masyarakat menyadari, mengetahui dan menghayati ideologi Negara.
Saat ini, program P4 dan Penataran P4 sudah tidak ada lagi, karena dibatalkan melalui penerbitan Tap MPR RI No.XVIII/MPR/1998. Pembatalan P4 ini karena “Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor II/MPR/1978 tentang Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (Ekaprasetia Pancakarsa) yang materi muatan dan pelaksanaannya tidak sesuai dengan perkembangan kehidupan bernegara, perlu dicabut.”
Pencabutan terhadap Program P4 ini dilandasi situasi pada masa awal Reformasi setelah jatuhnya pemerintahan Orde Baru presiden Suharto. Pada masa ini P4 dianggap sebagai alat Orde Baru untuk mempertahankan kekuasaan.
Pada masa Orde Baru, Pancasila ditafsirkan penuh muatan politik untuk melanggengkan kekuasaan. Selain itu, penanaman nilai-nilai Pancasila juga dilakukan secara represif di semua jenjang pendidikan. Misalnya, pihak yang kritis terhadap pemerintahan Orde Baru dicap sebagai penentang Pancasila.
Presiden Soeharto mengajak seluruh masyarakat, baik para pemuda, mahasiswa dan cendekiawan agar kembali kepada prinsip-prinsip perjuangan Orde Baru dalam melaksanakan pembangunan. Yaitu, bertekad untuk melaksanakan kemurnian Pancasila dan Undang-Undang Dasar, pandai melihat, sebab kalau membiarkan mereka (yang mengembangkan demokrasi di luar Demokrasi Pancasila-Red) ini akan menjadi lawan daripada Pancasila itu sendiri, sama halnya itu dengan Partai Komunis Indonesia (PKI) dulu,” ujamya.
“Pancasila sebagai dasar negara,ideologi danpandangan hidup dalam bemegara, berbangsa dan bermasyarakat harus selalu dipegang teguh. Jangan kemudian mempunyai tafsiran dan konotasi lain,”kata Kepala Negara kepada wartawan di atas pesawat DC-I 0 Garuda Indonesia dalam petjalanan kembali dari New Delhi, India ke Jakarta, Jumat (17/ 12) sore.
Presiden mensinyalir sekarang iniada yang selalu harus akan keterbukaan dan kebebasan, serta menilai seolah-olah pemerintah berada diluar sistem ketatanegaraan.
B.  Pelaksanaan program 4p ( Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila ) pada masa Presiden Soeharto

Pancasila adalah sebuah hasil yang tercipta dari kesepakatan bersama yang kemudian disebut sebagai perjanjian luhur bangsa Indonesia. Pancasila terkandung semangat kekeluargaan sebagai inti ajaran Pancasila. Pancasila secara resmi dirumuskan dalam Pembukaan UUD 1945, walaupun istilah “Pancasila” tidak di sebutkan secara terang-terangan dalam Pembukaan tersebut, namun sila demi sila secara jelas dicantumkan di dalamnya. Pembukaan UUD 1945 menjadi tempat adanya rumusan Pancasila.
Masyarakat Indonesia sulit mengamalkan nilai-nilai kebersamaan, solidaritas, dan toleransi antar ke sesama masyarakat, sehingga setiap masyarakat harus bisa dituntut secara hati nurani untuk memahami apa itu Pancasila, bagaimana memahaminya dan bagaimana cara menerapkannya.
Keaadaan baik buruknya moral bangsa Indonesia bisa kita lihat dengan perilaku rakyat atau bangsa Indonesia itu sendiri. Demi keadaan untuk terciptanya kehidupan yang sesuai watak warga negara Indonesia, masyarakat harus memahami prinsip dasar Pancasila sebagai jati diri bangsa Indonesia dan harus menambah wawasan yang seluas mungkin tentang pemahaman Pancasila. Ketidak berhasilan bisa mempengaruhi beberapa faktor. Faktor-faktornya sebagai berikut :
1.     Faktor kurangnya pendidikan akan pancasila
2.     Faktor ketidak pedulian pemerintah
3.     Faktor pemberian contoh yang tidak baik dari pemerintah
Cara mengubah setiap insan menjadi seseorang yang berpemikiran dengan landasan pancasila adalah dengan landasan Pancasila adalah dengan pemimpin harus memberikan contoh dan tauladan yang baik bagi rakyatnya. Karena pemimpin yang baik sepenuhnya akan memberikan efek-efek yang positif pula pada masyarakatnya dan memotivasi masyarakat untuk berpikir dengan landasan Pancasila.
Jika nilai Pancasila tidak lagi dijalankan setiap masyarakat dan sulit diterapkan. Bisa dikatakan negara Indonesia ini adalah negara yang akan hancur perlahan-lahan. Karena ketidak pahaman masyarakat dan diterapkannya lagi Pancasila sudah membuat bangsa kita kehilangan landasan kenegaraanya. Setiap individu harus dituntut untuk memahami tentang Pancasila, demi tercapainya penerapan Pancasila pada masa kini
C.   Dwi Fungsi ABRI
Dwi fungsi ABRI adalah suatu dokrin di lingkungan Militer Indonesia yang menyebutkan bahwa TNI memiliki dua tugas, yaitu pertama menjaga keamanan dan ketertiban negara dan kedua memegang kekuasaan dan mengatur negara. Dengan peran ganda ini, militer diizinkan untuk memegang posisi di dalam pemerintahan. Pernyataan di atas berdasarkan beberapa pidato Soeharto. Soeharto mengatakan bahwa  sejalan dengan pelaksanaan tugasnya sebagai alat pertahanan dan keamanan, maka ABRI harus dapat dengan tepat melaksanakan peranannya sebagai kekuatan sosial, politik.
Sedangkan dalam bentuknya ABRI sebagai kekuatan sosial, memiliki dua buah fungsi. Yaitu fungsi stabilisator dan fungsi dinamisator. ABRI sebagai pelaksana tugas keamanan Negara juga kemanunggalannya dengan rakyat yang lebih di kenal dengan ABRI masuk desa maka dapat di kategorikan ABRI sebagai dinamisator sedangkan sebagai stabilisator dalam kehidupan bangsa dan negara. Sejarah mencatat bahwa ABRI telah membuktikan kedua fungsinya dalam tindakan-tindakan berikut ini:
a. ABRI sebagai dinamisator :
1.Kemampuan ABRI untuk berkomunikasi dengan rakyat, untuk merasakan dinamika masyarakat , dan untuk memahami serta mersasakan aspirasi serta kebutuhan-kebutuhan rakyat, memungkinkan ABRI untuk secara nyata membimbing, menggugah dan mendorong masyarakat untuk lebih giat melakukan partisipasi dalam pembangunan. Dalam halini dapat di contohkan dalam amnunggal desa yang lebh di kenal dengan ABRI masuk desa, abri masuk desa ini membantu segala hal yang yang berkaitan dengan pembanguna desa dalam rangk mengabdi kepada masyarakat.
2.Kemampuan tersebut dapat mengarah kepada dua jurusan. Di satu pihak hal tersebut merupakan potensi nyata ABRI untuk membantu masyarakat menegakkan asas-asas serta tata cara kehidupan bermasyarakat dan bernegara, termasuk juga rencana-rencana serta proyek-proyek pembangunan. Di lain pihak hal itu menyebabkan ABRI dapat berfungsi sebagai penyalur aspirasi-aspirasi dan pendapat-pendapat rakyat.
3.Untuk dapat lebih meningkatkan kesadaran nasional dan untuk dapat mensukseskan dan untuk dapat mensukseskan pembangunan, diperlukan suatu disiplin social dan disiplin nasional yang mantap. Oleh karena disiplin ABRI bersumber pada Saptamarga dan Sumpah Prajurit, sehingga secara masyarakat, maka ABRI dapat berbuat banyak dalam rangka pembinaan serta peningkatan disiplin nasional tersebut.
4.Sifat ABRI yang modern serta penguasaan ilmu dan teknologi serta perlatan yang maju, memberikan kemampuan kepada ABRI untuk juga mempelopori usaha-usaha modernisasi.
b. ABRI sebagai stabilisator :
1.Kemampuan ABRI untuk berkomunikasi dengan rakyat, untuk merasakan dinamika masyarakat dan untuk memahami aspirasi-aspirasi yang hidup dalam masyarakat, membuat ABRI menjadi salah satu jalur penting dalam rangka pengawasan sosial.
2.Kesadaran nasional yang tinggi yang dimiliki oleh setiap prajurit ABRI merupakan suatu penangkal yang efektif terhadap pengaruh social yang bersifat negatif dari budaya serta nilai-nilai asing yang kini membanjiri masyarakat Indonesia.
3.Sifat ABRI yang realistis dan pragmatis dapat mendorong masyarakat agar dalam menanggulangi masalah-masalah berlandaskan tata pilir yang nyata dan berpijak pada kenyataan situasi serta kondisi yang dihadapi, dengan mengutamakan nilai kemanfaatan bagi kepentingan nasional. Kemudian rakyat akan dapat secara tepat waktu menentukan prioritas-prioritas permasalahan dan sasaran-sasaran yang diutamakan.
4.Dengan demikian akan dapat dinetralisasi atau dikurangi ketegangan, gejolak-gejolak dan keresahan-keresahan yang pasti akan melanda masyarakat yang sedang giat-giatnya melaksanakan pembangunan dan karenanya mengalami perubahan social yang sangat cepat.
Pengaturan Dwifungsi ABRI dalam undang-undang sendiri baru dimulai pada era Orde Baru, undang-undang yang mengatur Dwifungsi ABRI ialah Ketetapan MPRS Nomor XXIV/MPRS/1966, yang kemudian disusul oleh UU No. 15 Tahun 1969 tentang Pemilihan Umum dan UU No. 16 Tahun 1969, Ketetapan MPR No. IV/MPR/1978, Undang-undang Nomor 20 Tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pertahaan Keamanan Negara, dan UU no. 2 Tahun 1988 tentang Prajurit ABRI.
Adapun penjelasan lebih lanjut tentang beberapa pasal tersebut adalah sebagai berikut :
UU No. 16 Tahun 1969 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, dan DPRD yang antara lain mengatakan :
“Mengingat Dwifungsi ABRI sebagai alat negara dan kekuatan social harus kompak bersatu dan merupakan kesatuan untuk dapat menjadi pengawal Pancasila dan UUG 1945 yang kuat dan sentosa.”
Ketetapan MPR No. IV/MPR/1978 tentang Garis-garis Besar Haluan Negara mengukuhkan Dwifungsi ABRI sebagai salah satu modal dasar pembangunan nasional dengan kalimat :
“Angkatan Bersenjata Republik Indonesia sebagai kekuatan pertahanan keamanan dan kekuatan sosial yang tumbuh dari rakyat bersama rakyat menegakkan kemerdekaan bangsa dan negara.”
UU No. 20 tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pertahanan Keamanan Negara, pasal 16 berbunyi :
“Angkatan bersenjata mempunyai fungsi sebagai kekuatan pertahanan kemanan negara dan sebagai kekuatan social.”
Dalam Penjelasan Pasal ini dirumuskan :
“Fungsi Angkatan bersenjata sebagai kekuatan social sudah ada sejak kelahirannya serta merupakan bagian dari hasil proses perjuangan dan pertumbuhan bangsa Indonesia yang telah dirumuskan dalam marga kesatu sampai marga ketiga Saptamarga dan dinyatakan sebagai salah satu modal dasar pembangunan nasional dalam Garis-garis Besar Haluan Negara. (Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor IV/MPR/1978).
Selanjutnya dalam pasal 28 dikatakan :
“(1) Angkatan bersenjata sebagai kekuatan social bertindak selaku dinamisator dan stabilisator yang bersama-sama kekuatan social lainnya memikul tugas dan tanggung jawab mengamankan dan mensukseskan perjuangan bangsa dalam mengisi kemerdekaan serta meningkatkan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia.
(2) Dalam melaksanakan fungsi sebagaimana dimaksud ayat (1) pasal ini angkatan bersenjata diarahkan agar secara aktif mampu meningkatkan dan memperkukuh ketahanan nasional dengan ikut serta dalam pengambilan keputusan mengenai maslaah kenegaraan dan pemerintahan, mengembangkan demokrasi Pancasila dan kehidupan konstitusional berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945 dalam sefala usaha dan kegiatan pembangunan nasional.”
Penjelasan Pasal ini berbunyi :
“Sepanjang sejarah perjuangan bangsa Indonesia terbukti angkatan bersenjata merupakan pengawal dan pengamal Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 yang setia, sehingga dalam peranannya sebagai kekuatan social, angkatan bersenjata mendayagunakan kempuannya selaku dinamisator dan stabilisator dalam menunaikan tugas dan tanggung jawab mengamankan dan mensukseskan perjuangan dalam mewujudkan tujuan nasional.
Dalam rangka pelaksanaan fungsi sebagaimana dimaksud di atas, angkatan bersenjata diarahkan agar mampu secara aktif dan positif ikut serta memupuk serta memantapkan perseatuan dan kesatuan bangsa dan mampu berpersan dalam pembangunan nasional ke arah terwujudnya ketahanan nasional yang tangguh.”
Terakhir, UU no. 2 Tahun 1988 tentang Prajurit ABRI menegaskan dalam Pasal 6-nya :
“Prajurit Angkatan Bersenjata Republik Indonesia mengemban Dwifungsi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia, yaitu sebagai kekuatan pertahanan keamanan negara dan kekuatan social politik.”
Secara umum dapat kita jelaskan bahwa kedudukan militer pada masa orde baru ini sangatlah banyak dalam bidang pemerintahan, tidak hanya dari tingkat tertinggi namun juga sampai ke tingkat yang paling rendah pun masih dipimpin oleh orang-orang yang berasaldari ABRI. Hal ini terjadi karena adanya  kepercayaan dari setiap kalangan bahwa ABRI mampu melaksanakan tugas kenegaraan dan juga sudah pasti mampu melaksanakan tugas mengabdi kepada masyarakat.
Keikutsertaan militer dalam bidang politik secara umum bersifat antipartai. Militer percaya bahwa mereka merupakan pihak yang setia kepada modernisasi dan pembangunan. Sedangkan partai politik dipandang memiliki kepentingan-kepentingan golongan tersendiri.
Hubungan  antara ABRI dan kemunculan beberapa partai politik sepanjang era Orde Baru:
1)      Munculnya partai golkar kelahiran Golkar tidak lepas dari peran dan dukungan militer, yang pada saat itu merupakan bentuk reaksi terhadap meningkatnya kampanye PKI. Embrio Golkar awalnya muncul dengan pembentukan Sekretariat Bersama Golongan Karya (Sekber Golkar)
2)      Munculnya Partai Persatuan Pembangunan lahirlah PPP pada tanggal 5 Januari 1973 yang ditandatangani oleh NU, Parmusi, PSII, dan Perti. Ketersediaan partai-partai tersebut tidak lepas dari tekanan pemerintah dan militer.
3)      Munculnya Partai Demokrasi Indonesia (PDI) PDI juga merupakan partai yang terbentuk pada praktik fusi oleh pemerintah. PDI terfusi atas partai-partai yang cenderung bersifat nasionalis seperti PNI, Murba, IPKI, serta Parkindo dan Partai Katolik (yang menolak dikategorikan dalam kategori material-spiritual). Ketiga partai yang terbentuk ini kemudian mengindikasikan keberhasilan penyederhanaan partai pada Orde Baru (dengan bantuan ABRI atau militer), karena sejak saat itu hingga tahun 1998/1999 hanya PPP, PDI dan Golkar yang mengikuti pemilihan umum.
Dampak positif  ( kelebihan ) Dwi Fungsi ABRI:
1. Kesejahteraan prajurit ABRI meningkat
Pada masa Orde Baru, ABRI mngendalikan berbagai yayasan dan perusahaan. Penghasilan dari yayasan dan perusahaan ini disalurkan untuk memperbaiki kondisi kesejahteraan prajurit ABRI. Pada masa Orde Baru, gaji pegawai pemerintah, termasuk gaji anggota ABRI sangat rendah, sehingga mereka harus mencari pendapatan tambahan.
2. Para prajurit ABRI ikut berkontribusi dalam pembangunan
Para prajurit dimobilisasi dalam kegiatan seperti ABRI Masuk Desa, untuk melakukan kegiatan pembangunan seperti perbaikan jalan hingga mendirikan sarana kesehatan.
Dampak negative (kelemahan )  Dwi Fungsi ABRI:
1.     Terjadi dominasi oleh ABRIvterhadap masyarakat sipil
Pada masa Orde Baru, akibat dominasi ABRI, sangat banyak jabatan penting di Indonesia, seperti walikota, bupati dan gubernur iisi oleh para prajurit maupun purnawirawan ABRI. Akibatnya, peluang dan aspirasi politis masyarakat sipil menjadi terhambat.

2.     ABRI menjadi alat politik praktis
Dengan Dwi Fungsi ABRI, di MPR dan DPR terdapat anggota dewan dan majlis yang ditunjuk oleh ABRI. Bersama dengan para kepala daerah yang berasal dari ABRI, mereka dianggap sebagai kepanjangan tangan dari Presiden Soeharto. Akibatnya, setelah pemerintahan Soeharto tumbang, keberadaan Fraksi ABRI dan anggota MPR/DPR dari ABRI dihapuskan.

3.  Banyaknya jabatan pemerintahan mulai dari Bupati, Walikota, Gubernur, Pejabat Eselon, Menteri, bahkan Duta Besar diisi oleh anggota ABRI yang “dikaryakan”, Selain dilakukannya pembentukan Fraksi ABRI di parlemen, ABRI bersama-sama Korpri pada waktu itu juga dijadikan sebagai salah satu tulang punggung yang menyangga keberadaan Golkar sebagai “partai politik” yang berkuasa pada waktu itu,
4. ABRI melalui berbagai yayasan yang dibentuk diperkenankan mempunyai dan menjalankan berbagai bidang usaha dan lain sebagainya.
5.    Kecenderungan ABRI untuk bertidak represif dan tidak demokratis/otoriter. Hal ini dapat terjadi karena kebiasaan masyarakat yang terbiasa taat dan patuh kepada ABRI. Sehingga masyarakat enggan untuk mencari inisiatif dan alternatif karena semua inisiatif dan alternatif harus melalui persetujuan ABRI. Kalaupun masyarakat telah mengungkapkan inisiatifnya, tak jarang inisiatif tersebut ditolak oleh ABRI yang menjabat sebagai petinggi di wilayahnya tersebut,
6. Menjadi alat penguasa, yakni dengan adanya dwifungsi ABRI ini, maka ABRI dengan bebas bergerak untuk menjabat di pemerintahan. Sehingga untuk mencapai tingkat penguasa tidak mustahil untuk dilakukan oleh seorang ABRI, sehingga dengan mudah ABRI mengatur masyarakat, dan
7. Tidak berjalannya fungsi kontrol oleh parlemen. Dampak dari kondisi ini adalah terjadinya penyalahgunaan kekuasaan, misalnya dalam bentuk korupsi. Hal tersebut dapat terjadi karena ABRI juga yang bertindak sebagai parlemen sehigga ia tidak ingin repot-repot melakukan kontrol terhadap bawahannya.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar